pdmbontang.com, Bontang – Dr. Asykuri ibn Chamim, Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyerukan agar ibadah qurban pada Idul Adha 1446 H./06 Juni 2025 menjadi momentum transformasi diri menuju ketaqwaan dan syukur nikmat.
Dalam khutbahnya di Stadion Bessai Berinta (Lang-Lang), Bontang, yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, Kalimantan Timur, Jumat 6 Juni 2025, ia menyoroti bahwa qurban bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi etika penghambaan sejati dan solusi atas sifat rakus manusia modern.
Qurban: Pesan Ketaqwaan Sejak Nabi Adam
Dalam khutbahnya, Dr. Asykuri menjelaskan bahwa perintah qurban telah ada sejak generasi pertama manusia, Nabi Adam, ketika menengahi konflik antara kedua putranya, Qabil dan Habil.
Ayat Al-Qur’an surah al-Ma’idah (5): 27 mengisyaratkan bahwa qurban Habil diterima karena ketaqwaan dan keikhlasannya kepada Allah, sementara qurban Qabil ditolak karena dijadikan instrumen kepentingan pribadi yang bertentangan dengan aturan Allah.
Hal ini menegaskan bahwa etika penghambaan yang hakiki harus dilakukan secara ikhlas, tanpa tendensi kepentingan.
Kisah Ibrahim dan Ismail: Simbol Ketaatan dan Pemuliaan Manusia
Pesan taqwa ini kembali bergema melalui kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Keduanya diuji dengan perintah qurban yang ekstrem, yaitu menyembelih Ismail, sebagai bentuk ketaatan sepenuhnya kepada Allah.
Ayat Al-Qur’an surah al-Shaffat (37): 102 mengabadikan dialog keikhlasan dan kesabaran mereka.
Allah kemudian menyelamatkan Ismail dan menggantinya dengan hewan qurban, memberikan kritik kuat terhadap tradisi pagan yang mengorbankan manusia sebagai tumbal.
Peristiwa ini menjadi simbol kemuliaan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Aktualisasi Syukur Nikmat dalam Ibadah Qurban
Puluhan generasi setelah Ibrahim, syariat qurban kembali digaungkan melalui Nabi Muhammad. Perintah ini disampaikan tegas dalam Al-Qur’an surah al-Kautsar (108): 1-2, yang mengaitkan qurban sebagai aktualisasi penghambaan manusia kepada Tuhannya melalui syukur nikmat.
“Dimensi syukur nikmat sangat terkait erat dengan praksis sosial,” ujar Dr. Asykuri.
“Orang-orang yang berkelimpahan nikmat Allah seharusnya menjadi epicentrum kebaikan untuk meresonansikan nikmat Allah itu menjadi gelombang yang lebih luas.”
Hal ini selaras dengan firman Allah dalam surah al-Dluha (93): 11: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau sebarluaskan.”
Ia menyoroti bahwa di era kontemporer, sebagian umat Islam mengalami lompatan ekonomi yang berkelimpahan, sementara sebagian lainnya masih berkubang dalam kepahitan hidup marginal.
Oleh karena itu, aktualisasi syukur nikmat relevan dengan nilai-nilai qurban, di mana mereka yang berkelimpahan dapat meresonansikan nikmat itu melalui qurban.
“Ibadah qurban bukan merupakan ritual penumbalan, melainkan aktualisasi dari syukur nikmat sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah,” tegasnya.
Qurban: Sembelih Sifat Kebinatangan di Abad Modern
Dr. Asykuri juga menyoroti bahwa abad modern yang bergelimang keberlimpahan ekonomi, di mana pendapatan meningkat drastis, justru memfasilitasi sifat kebinatangan dalam diri manusia seperti rakus dan egois.
Kerakusan telah melebarkan jurang ketimpangan sosial dan ekonomi, sementara egoisme menyebabkan berbagai kerusakan alam.
Ia mengutip Al-Qur’an surah al-A’raf (7): 79 yang menggambarkan orang-orang yang melupakan jati diri kemanusiaan dan menuhankan hawa nafsu, seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.
“Oleh karena itu, ibadah qurban menawarkan nilai-nilai simbolik: sembelihlah sifat kebinatanganmu melalui qurban untuk mendekatkan diri kembali kepada Allah,” pungkasnya.
Melalui momentum qurban ini, umat Muslim diajak untuk senantiasa kembali ke fitrah manusia sebagai hamba yang dekat dengan Sang Khaliq. ***